Kamis, 13 Juni 2013

YANG SEMPURNA YANG TERPILIH


Teringat waktu zaman dulu duduk di bangku Sekolah Dasar tepatnya kelas 1, 2, dan 3. Setiap menjelang pulang sekolah, guru berdiri di depan dengan mengatakan “siapa yang duduknya paling rapi, bisa pulang duluan”, langsung serentak murid-murid dalam kelas hening seketika,duduk tegap, posisi tangan saling menindih di atas meja,  tanpa suara, tanpa gerak, dan masing-masing berharap posisinya-lah yang paling sempurna. Dengan jantung berdebar-debar menunggu siapa yang dinilai paling sempurna sikapnya dan disebutkan namanya untuk dibolehkan keluar kelas paling pertama. Ketika nama saya tak disebut oleh bu guru, melainkan nama murid yang lain, saya mencoba lebih menyempurnakan sikap. Mungkin saja posisi tubuh saya belum tegap, atau tangannya tidak terlipat sempurna. Hal tersebut tidak hanya dilakukan oleh saya saja, namun ternyata juga dilakukan oleh murid lain yang namanya juga belum disebut. Mereka mencoba untuk lebih menyempurnakan sikap. Murid lain yang tak dipanggil namanya hingga panggilan kesekian pun semakin gelisah sambil terus memperhatikan letak duduk, posisi tubuh, hingga mata yang ditahan-tahan tak berkedip untuk menunjukkan sikap sempurna. Barulah senyum mengembang ketika namanya disebut sambil melirik ke arah bangku-bangku yang ada di kelas, karena ternyata masih ada beberapa teman tertinggal di belakang. Bangga sedikit boleh-lah, tapi belum puas karena tidak menjadi yang paling sempurna.


Keesokan harinya, ketika masuk kelas lagi sudah berpikir dan bersiap-siap ketika menjelang pulang sekolah nanti harus memposisikan diri menjadi yang lebih sempurna dari yang kemarin. Alhasil, meski tidak menjadi yang pertama, namun bisa lebih baik dari yang kemarin. Hingga hari-hari berikutnya pun sikap sempurna terus dan terus diperbaiki untuk mendapatkan kesempatan yang paling pertama. Dan yang pasti saya akan bangga jika mendapatkan kesempatan itu.

Di tempat lain pun, hukum kesempurnaan masih berlaku. Teringat ketika masa kecil saya dulu mengaji di salah satu Masjid dekat rumah. Pak Ustad akan mengizinkan santrinya pulang ketika sudah menghapalkan salah satu surat pendek yang ditentukan oleh baliau. Siapa yang sudah hapal dipersilahkan maju untuk diuji. Lancar dan bagus bacaannya, boleh pulang. Jika terbata-bata, silahkan duduk dan pelajari lagi sambil menunggu giliran berikutnya. Bagi yang tidak hapal, harap pasrah pulang paling akhir plus dengan sedikit ‘omelan’ dari Pak Ustad.

Hukum kesempurnaan ini akan berlaku kapan pun dan di mana pun. Kesempurnaan yang dimaksud adalah bukan hanya titik puncak dari apa yang bisa dilakukan oleh seseorang. Melainkan sebuah usaha maksimal yang mampu diupayakan, dan diperoleh melalui proses panjang yang melelahkan. Kesempurnaan bisa dicapai dengan akal pikiran, kerja keras yang tak kenal menyerah. Oleh karena itu, kita harus berusaha terus untuk menjadi lebih baik dan lebih sempurna. Kalau kita bisa menapak anak tangga ke seratus, kenapa harus berhenti di anak tangga ke tujuh puluh?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar