Kamis, 20 Juni 2013

Masa Kecil - Jahil



Masa kecil adalah masa-masa yang paling menyenangkan menurut saya. Yang dipikirkan hanyalah sekolah, bermain, bermain, dan bermain. Kalaupun ada permasalahan yang berat menimpa, itu pun karena ada permasalahan dalam bermain. Pada fase masa kecil inilah kita belum terlalu memikirkan hal-hal yang berat.
Belum memikirkan mencari uang, belum memikirkan ujian dakwah, belum memikirkan kenaikan harga BBM, atau  ujian-ujian hidup lainnya yang terjadi dalam laboratorium kehidupan masing-masing manusia. Membantu orang tua pun, itu hanyalah reklame dalam kehidupan anak-anak kecil. Hanya lewat begitu saja. kalo dalam bahasa jawa, Nek di kongkon wes kudu ndang mlayu wae. Hari-harinya selalu diisi penuh dengan kesibukan bermain.
Ngomong-ngomong masa kecil, jadi ingat dulu saya pernah bekerja sama dengan kakak saya untuk ngerjain tukang bakso. Waktu itu yang ada dalam pikiran kami hanyalah ‘bagaimana agar kami berhasil untuk menakut-nakuti tukang bakso’, tanpa memikirkan perasaan, apalagi kondisi psikis dari si tukang bakso tersebut.
Niat kami untuk menakut-nakuti tukang bakso itu berawal dari sebuah cerita yang dibesar-besarkan oleh masyarakat yang ada di sekitar rumah kami. Di dekat rumah kami ada sebuah bengkel mobil yang kalau malam hari sangat gelap sekali, karena memang tidak ada alat bantu penerangan disana. Memang para teknisi bengkel tersebut bekerjanya pada waktu pagi-sore hari. Dua hari sebelum kami bertekad untuk menjalankan misi kami ini, konon katanya ada sebuah mobil ringsek bekas kecelakaan di suatu desa di kabupaten kami yang di servis di bengkel tersebut. Korban dari kecelakaan mobil tersebut tidak ada yang terselamatkan nyawanya, semua mati. Karena mulut besar para warga itulah yang menyebabkan orang-orang takutt untuk melewati depan bengkel, katanya arwah dari para korban masih gentayangan. Dan kadang-kadang memperlihatkan penampakan di area bengkel tersebut.
Nah, pada malam itu tepat pukul 21.00 WIB, lampu ruang tamu rumah kami sudah tidak dinyalakan lagi – itu memang sudah jadi kebiasaan – hemat listrik, jadi terlihat gelap. Dari kejauhan, kami mendengar suara tukang bakso yang semakin lama semakin mendekat. Pada saat itulah saya dan kakak mengendap-endap di ruang tamu untuk menunggu tukang bakso lewat tepat di depan rumah kami. Ketika tepat tukang bakso lewat di depan pagar rumah kami, kami pun berteriak “paaakk tumbas bakso pak…. Paakk tumbaaasss…”. padahal kami tidak berniat membeli bakso. Setelah itu kami pun diam tanpa suara karena serius mengamati kabingungan si tukang bakso itu. Tukang bakso itu berhenti sejenak, tengok ke kanan-kiri-belakang, mungkin karena tidak ada orang disekelilingnya maka tukang bakso itu pun pergi melanjutkan perjalanannya. Kami pun merasa kecewa dan putus asa karena gagal menjalankan misi penting. “ealah, wonge kok gak wedi to mas?” tanya saya pada kakak. “yo emboh wi?” begitulah tanggapan kakak saya. Karena kami merasa sudah gagal, akhirnya kami putuskan untuk menonton tivi dengan Romo (panggilan untuk ayah kami). Karena Romo tahu kelakuan jahil kami, beliau pun menegur kami dengan halus, “wo…bocah kok gak nduwe dugo. Ngono kuwi nek wonge wedi piye?”. Kami pun hanya cengar-cengir mendengar teguran Romo.
10 menit kemudian,di depan rumah kami terdengar seperti ada yang membunyikan gembok pagar rumah. Romo pun mencoba untuk melihat ke depan, lalu diikuti Kakakku namun hanya melihat dari balik jendela saja. Saya yang merasa tak peduli, hanya asyik melanjutkan nonton tivi. Tiba-tiba kakak saya memanggil, “Ma, reneo Ma. Tukang bakso ne mbalik maneh. Nyapo yo?”. Saya pun bergegas kedepan menghampiri kakakku menuju balik jendela. Kami masih belum mengerti kenapa tukang bakso itu kembali lagi. Kami melihat tukang bakso itu berbincang-bincang singkat dengan Romo. Kami tak tahu apa yang mereka bicarakan. Tak lama kemudian, tukang bakso itu pun berjalan lagi meninggalkan rumah kami. Anehnya, Romo mengikuti tukang bakso itu. Tambah bingung lah kami berdua.
Kurang lebih 15 menit, Romo kembali lagi ke rumah. Untuk mengurangi rasa penasaran langsung saja kami bertanya apa yang terjadi. Romo pun senyum-senyum sendiri seraya berkata “iku mau ngono wonge wedi. Mangkane nyuwun tulung Romo sing ngeterne sampek ratan gedhe. Wonge ora wani lewat bengkel kuwi lho. Mangkane ojo tambah diweden-wedeni”. Mendengar itu, tawa kami langsung meledak-ledak tanpa rasa bersalah sedikitpun. Kami merasa sangat bangga dan bahagia karena misi yang kami jalankan tidak sia-sia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar