Pernah baca twitt pak Susilo Bambang Yudhoyono (@SBYudhoyono) yang
bunyinya “sebagai Negara berkembang, sasaran kita tidak sekedar pertumbuhan
saja. Ciptakan lapangan kerja dan kurangi kemiskinan”. Dari situ saya bisa menebak bahwa program-program untuk mengurangi kemiskinan
pasti ada. Dengan cara apapun, entah dengan cara membuka lapangan pekerjaan,
adanya program pemberian bantuan untuk rakyat miskin, sekolah gratis, pengobatan
gratis, dan lain-lain. Seperti yang dilakukan oleh Dinas Sosial yaitu Program
Keluarga Harapan (PKH) salah satunya yang memberikan bantuan tunai kepada Rumah
Tangga Sangat Miskin. Tidak hanya pemerintah saja yang peduli, namun banyak
lembaga swasta yang berkecimpung dalam penyaluran zakat atau infaq yang
diberikan pada masyarakat miskin dengan harapan dapat mengurangi beban
hidupnya. Apakah dengan tindakan seperti ini masyarakat miskin bisa mendadak
kaya dalam jangka waktu panjang?. Tentu tidak. Fungsi lembaga-lembaga itu seharusnya
hanya dijadikan rujukan ketika masyarakat yang miskin itu tengah mengalami
sesuatu hal mendesak yang membuatnya terhimpit, sehingga membutuhkan
bantuan dana segera. Bukan malah dijadikan sebagai tempat mengadu setiap saat,
yang mengakibatkan orang jadi malas bekerja, dan hanya mengandalkan
lembaga zakat sebagai tempat meminta-meminta.
Saat ini saya tengah menjalani aktifitas di sebuah Lembaga Amil
Zakat (LAZ) di Surabaya. Banyak sekali kisah-kisah unik yang saya dapatkan dari
para Mustakhiq (Penerima zakat) maupun Muzakiy (Pembayar zakat).
Pada bulan Agustus lalu, tapatnya siang hari sebelum adzan dzuhur
berkumandang ada seorang kakek yang cara berjalannya sudah tidak sempurna
memaksakan diri datang sendirian ke kantor LAZ. Maklum, mungkin karena usianya
yang sudah renta, jalannya jadi terseok-seok. Beliau datang dengan membawa
sebuah proposal dan diberikan pada petugas front office (FO). Kemudian
petugas FO menerima dengan baik, melihat-lihat isinya, dan meneliti. Setelah
dibaca sekilas, ternyata kakek tersebut mengajukan permohonan dana dengan
jumlah yang fantastis – 50 juta Rupiah. Dalam proposal tersebut juga dijelaskan
terkait penggunaan dana tersebut nantinya, yang bertuliskan untuk membayar
hutang. Untuk apa kakek tersebut sampai berhutang sebesar itu, saya juga kurang
tahu detailnya. Sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh kantor,
ketika ada proposal pengajuan dana yang masuk, harus disurvey terlebih
dahulu, kemudian divalidasi, baru diputuskan layak bantu atau tidak. Setelah
petugas FO memberi penjelasan pada si kakek dan menghimbau agar menunggu kabar
selanjutnya, akhirnya beliaupun berpamitan meninggalkan kantor. Beberapa detik
setelah si kakek keluar dari pintu, petugas FO juga keluar ruangan – entah apa
keperluannya. Seketika petugas FO itu kaget ketika sudah keluar dari pagar
kantor. Dia melihat pemandangan antara percaya dan tidak. Kakek yang tadi
mengajukan dana dengan jalan terseok-seok ternyata beliau bisa berjalan dengan
sempurna, tanpa kurang suatu apapun. Yang lebih mengejutkan lagi, si kakek itu
dijemput seseorang dengan mengendarai sebuah mobil mewah. Apakah itu kendaraan
pribadinya? wallohu’alam. Apakah dengan cara berjalan yang tidak
sempurna tadi hanya untuk mendapat belas kasihan saja? wallohu’alam. Jelasnya,
sudah ada bukti bahwa kakek tersebut berbohong dengan tidak sengaja ketahuan cara
berjalannya yang berbeda.
Satu lagi, kisah yang bertolak belakang dengan kisah yang diatas. Ada
seorang tukang becak yang penghasilannya tentu tidak tetap dan juga tidak
seberapa besar jumlahnya. Namun semangatnya untuk bersedekah sungguh luar
biasa. Meskipun dirinya hanyalah seorang tukang becak, dia adalah salah satu
donator rutin di LAZ ini. 20 ribu rupiah per-bulan rutin ia bayarkan zakatnya.
Nominal yang tidak seberapa besar memang, namun bisa bernilai besar jika
didasarkan atas niat yang ikhlas.
Dua penggal kisah diatas bisa kita petik hikmahnya bersama. Seorang
yang bermental miskin dan satunya lagi seorang yang bermental kaya. Bila
seseorang sudah terjangkiti mental miskin, hidupnya hanya mengandalkan belas
kasihan, selalu merasa kurang, merasa tidak punya dan merasa tidak mampu.
memang benar, mental miskin lebih berbahaya dari pada miskin harta.
Mental miskin ini sudah merambah hampir di setiap strata dan lapisan
masyarakat. Jadi wajar jika saat ini banyak sekali peminta-minta atau pengemis
yang masih dalam usia produktif. Mental miskin yang terjadi pada seseorang akan
menjadikan orang tersebut jadi mandul produktifitas. alasan adalah senjata
utama didalam setiap kegagalan. Menyalahkan kondisi dan situasi adalah hal yang biasa buat orang
semacam ini. Asalkkan kita semua tahu, pengemis-pengemis di kota-kota besar
bayarannya jauh lebih besar dibanding gaji manager. Itulah kenapa, para
pengemis sangat enjoy dengan pekerjaannya sebagai pengemis. Hanya
bermodal tampang melas sambil menengadahkan tangan, ia sudah bisa meraup
penghasilan fantastis. Mereka jadi enggan untuk bekerja dengan alasan tidak
sekolah-lah, tidak punya ijazah sarjana-lah, tidak punya bekal keahlian-lah dan
bla bla bla masih banyak alasan yang lain.
Kalau kasusnya sudah seperti ini, bagaimana kemiskinan bisa
dikurangi kalau rakyatnya sendiri memang senang menyandang status miskin. Yang
perlu dibenahi adalah buang jauh-jauh mental miskin, bangunlah mental kaya – bukan
sok kaya, tapi lebih kepada merubah pola pikir bahwa semuanya bisa kita atasi
dengan usaha yang keras. Apa pun keadaan yang kita alami dan hadapi sekarang
ini jangan pernah menyalahkan situasi, kondisi atau siapa pun. Dan jangan pula mengeluh
jika saat ini hidup belum seperti harapan dan keinginan. Hidup adalah
perjuangan. Tiada masa untuk berpangku tangan!
” Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum,
kecuali kaum itu sendiri yang merubah apa-apa yang ada pada diri mereka ”
(QS.13:11)
Abu Hurairah ra, berkata, “Rasululloh saw. bersabda, “Barangsiapa meminta-minta kepada orang lain untuk memperbanyak hartanya, sebenarnya ia telah meminta bara api. Hendaknya ia mengurangi (bara api itu) atau memperbanyak.” (HR. Muslim)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar