Alangkah bahagianya
bila kita dapat menikahi seseorang yang kita cintai. Namun, bagaimana bila
seseorang yang kita cintai pada takdir yang ditetapkan-Nya harus menikah dengan
orang lain. Hal ini bukan cerita dongeng, pengorbanan demikian pernah dialami
oleh salah seorang sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam, ia adalah
Salman Al-Farisi radhiallahu ‘anhu. Cintanya harus dikorbankan untuk saudaranya
yang ia cintai karena Allah.
***
Salman Al Farisi memang sudah waktunya menikah.
Seorang wanita Anshar yang dikenalnya sebagai wanita muslimah lagi shalihah
juga telah mengambil tempat di hatinya. Tentu saja bukan sebagai kekasih.
Tetapi sebagai sebuah pilihan dan pilahan yang dirasa tepat. Pilihan menurut
akal sehat. Dan pilahan menurut perasaan yang halus, juga ruh yang suci.
Tapi bagaimanapun, ia merasa asing di sini.
Madinah bukanlah tempat kelahirannya. Madinah bukanlah tempatnya tumbuh dewasa.
Madinah memiliki adat, rasa bahasa, dan rupa-rupa yang belum begitu dikenalnya.
Ia berfikir, melamar seorang gadis pribumi tentu menjadi sebuah urusan yang
pelik bagi seorang pendatang. Harus ada seorang yang akrab dengan tradisi
Madinah berbicara untuknya dalam khithbah. Maka disampaikannyalah gelegak hati
itu kepada shahabat Anshar yang dipersaudarakan dengannya, Abu Darda’.
”Subhanallaah.. wal hamdulillaah..”, girang Abu
Darda’ mendengarnya. Mereka tersenyum bahagia dan berpelukan. Maka setelah
persiapan dirasa cukup, beriringanlah kedua shahabat itu menuju sebuah rumah di
penjuru tengah kota Madinah. Rumah dari seorang wanita yang shalihah lagi
bertaqwa.
”Saya adalah Abu Darda’, dan ini adalah saudara
saya Salman seorang Persia. Allah telah memuliakannya dengan Islam dan dia juga
telah memuliakan Islam dengan amal dan jihadnya. Dia memiliki kedudukan yang
utama di sisi Rasulullah Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam, sampai-sampai beliau
menyebutnya sebagai ahli bait-nya. Saya datang untuk mewakili saudara saya ini
melamar putri Anda untuk dipersuntingnya.”, fasih Abu Darda’ bicara dalam logat
Bani Najjar yang paling murni.
”Adalah kehormatan bagi kami”, ucap tuan rumah,
”Menerima Anda berdua, shahabat Rasulullah yang mulia. Dan adalah kehormatan
bagi keluarga ini bermenantukan seorang shahabat Rasulullah yang utama. Akan
tetapi hak jawab ini sepenuhnya saya serahkan pada puteri kami.” Tuan rumah
memberi isyarat ke arah hijab yang di belakangnya sang puteri menanti dengan
segala debar hati.
”Maafkan kami atas keterusterangan ini”, kata
suara lembut itu. Ternyata sang ibu yang bicara mewakili puterinya. ”Tetapi
karena Anda berdua yang datang, maka dengan mengharap ridha Allah saya menjawab
bahwa puteri kami menolak pinangan Salman. Namun jika Abu Darda’ kemudian juga
memiliki urusan yang sama, maka puteri kami telah menyiapkan jawaban
mengiyakan.”
Jelas sudah. Keterusterangan yang mengejutkan,
ironis, sekaligus indah. Sang puteri lebih tertarik kepada pengantar daripada
pelamarnya! Itu mengejutkan dan ironis. Tapi saya juga mengatakan indah karena
satu alasan; reaksi Salman. Bayangkan sebuah perasaan, di mana cinta dan persaudaraan
bergejolak berebut tempat dalam hati. Bayangkan sebentuk malu yang membuncah
dan bertemu dengan gelombang kesadaran; bahwa dia memang belum punya hak apapun
atas orang yang dicintainya.
”Allahu Akbar!”, seru Salman, ”Semua mahar dan
nafkah yang kupersiapkan ini akan aku serahkan pada Abu Darda’, dan aku akan
menjadi saksi pernikahan kalian!” teman baik ku dunia akhirat. Dan aku akan
menjadi saksi pernikahan bersejarah kalian!” air mata kasih dan syukur
membening suasana redup di suatu petang itu.
***
Subhanallah..sebuah pengorbanan cinta yang agung
dan menharukan. Begitulah apabila cinta didasarkan pada cinta karena Allah.
Sakit.. akan menjadi Indah..karena Allah.
Sergapan rasa memiliki, terkadang memabukkan
bahkan melalaikan. Maka menjadi seorang manusia yang hakikatnya hamba adalah
belajar untuk menikmati sesuatu yang bukan milik kita sekaligus mempertahankan
kesadaran bahwa kita hanya dipinjami.
Salman mengajarkan kita bahwa cinta tidak harus
memiliki dan sejatinya kita tidak pernah memiliki apapun di dunia ini.
ref: dari buku Jalan Cinta Para Pejuang karya Salim A. Fillah
subhanallah...
BalasHapusjangan nangis di tempat umum lho dek... malu2in :P
Hapustak kira tulisanmu
BalasHapustulisan mas salim :D
Hapus